*

Minggu, 27 Februari 2011

Bertani menuai pahala


“Diriwayatkan oleh Jabir ibn Abdullah RA bahwa Rasulullah SAW bersabda ; tak ada seorang muslim pun yangmenanam pohon, kecuali apa yang dimakan dari pohon itu merupakan sedekah, dan apa yang dicuri darinya juga sedekah, begitu pula yang dimakan oleh hewan buas maupun burung darinya adlah sedekah, dan apa yang diambil orang darinya merupakan sedekah bagi penanamnya.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Dijelaskan oleh al-Baghawi dalam Syarh as-Sunnah, Hadist ini memiliki asbabul wurud bahwa Ummi Mubasyir al-Anshariyah bercerita: Ketika Nabi SAW mengunjunginya di kebun kurma lalu beliau bertanya, “Pohon-pohon kurma ini milik siapa?” Aku menjawab “Seorang Muslim”, maka keluarlah Hadist ini.
Al-Manawi dalam Faidh al-Qadir mengomentari, isi hadis ini member stimulasi pahala bagi orang yang menanam untuk menafkahi keluarganya, meski tak berniat mendapatkan pahala di saat menanamnya. Bahkan para pelaku yang terkait dalam pertanian ini baik pemilik lahan maupun penyewanya akan mendapatkan pahala pula.
Menurut an-Nawawi dalam Syarh Muslim, Hadis ini membicarakan tentang keutamaan bercocok tanam dan pertanian. Petani yang bercocok tanam meski dilakukan untuk pemenuhan kebutuhan dirinya sendiri, sebenernya ia telah member sedekah kepada orang lain, bahkan kepada sesame makhluk Allah SWT. Dan pahalanya akan terus mengalir selama tanamannya itu member manfaat kepada orang lain, termasuk bibit yang dihasilkan kemudian menumbuhkan tanaman lain, hingga hari kiamat.
Hal ini dikuatkan oleh Hadis yang diriwayatkan oleh Ahmad, “Tiada seorangpun menanam sebuah pohon, kecuali Allah tetapkan bagian dari pahalanya sesuai apa yang dihasilkan tumbuhan tersebut.” Dari hadis-hadis ini, Al-Qurthubi seperti dilansir dalam Fiqh Sunnah menyimpulkan bahwa zira’ah (pertanian) merupakan fardhu kifayah. Dan pemerinyah boleh memaksa penduduk untuk bercocok tanam, bila ternyata ada yang melakukannya.
Bukan hanya menanam pohon yang mendapat ganjaran pahala, tapi bercocok tanam atau bertani akan mendapat bagian yang sama. Karena dalam riwayat Anas ibn Mailik dalam Musnad Ahmad disebutkan dua kata yang berbeda, yaitu gharasa-yaghrisu yang berarti menanam pohon, dan zara’a-yazra’u yang bermakna bertani (bercocok tanam).
Dalam Faidh al-Qadir disebutkan, meski pohon itu sudah berpindah tangan dibeli orang lain, tetap saja penanam asal akan mendapat pahala darinya. Ibnu Arabi mengomentari Hadis ini dengan mengatakan bahwa Allah Maha Pemurah kepada hamba-Nya, hal ini terbukti dengan terus menerus si penanam pohon mendapat pahala setelah kematian, sebagaimana yang didapatnya saai hidup.
Sedangkan menurut Ibnu Baththal, Hadis ini juga sebagai acuan bahwa sedekah dapat dilakukan kepada hewan dan setiap makhluk yang bernyawa.



Ringakasan ceramah oleh Abdul Malik Ghozali

0 komentar: